Ariel NOAH Tak Ingin Menang Gugatan Hak Cipta, Cari Kejernihan

Ariel NOAH Tak Ingin Menang Gugatan Hak Cipta, Cari Kejernihan

Musisi Ariel NOAH dan 28 Seniman Lainnya Ajukan Uji Materi terhadap UU Hak Cipta

Ariel NOAH, seorang musisi ternama di Indonesia, bersama dengan 28 seniman lainnya mengajukan uji materi terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta. Tujuan utama dari gugatan ini bukanlah untuk menang dalam persidangan, melainkan untuk mendapatkan kepastian hukum atas hak para pelaku pertunjukan.

Pada sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) yang berlangsung di Jakarta pada Selasa (27/7/2025), Ariel menjelaskan bahwa tujuan utama dari gugatan ini adalah untuk memastikan perlindungan hukum yang jelas bagi para pelaku pertunjukan. "Di MK ini sebenarnya kita enggak penting kita menang, kita enggak penting gugatan kita itu diterima," ujarnya.

Gugatan ini dilakukan karena para musisi merasa bahwa beberapa pasal dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memiliki makna yang ambigu dan dapat merugikan pelaku pertunjukan, khususnya dalam hal pembayaran royalti. Salah satu pasal yang menjadi perhatian adalah Pasal 23 ayat (5) yang menggunakan frasa “setiap orang”. Frasa ini dinilai bisa menyebabkan pencipta lagu langsung menagih royalti kepada penampil tanpa melalui mekanisme lembaga resmi seperti Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) atau LMK Nasional.

Menurut Ariel, yang paling penting dari sidang ini adalah adanya pernyataan tegas dari pemerintah dan DPR mengenai interpretasi pasal-pasal tersebut. "Yang penting buat kita itu kayak sidang ketiga (di MK), pernyataan dari Pemerintah dari Presiden dan DPR bahwa 'enggak kok, enggak bias UU ini, memang yang mesti dibayar ini'," jelas Ariel.

Upaya judicial review ini tidak dilakukan sendirian. Ariel mengajukan uji materi bersama 28 musisi lainnya yang merasa hak konstitusional mereka sebagai pelaku pertunjukan tidak terlindungi akibat ketidakpastian hukum dari sejumlah pasal dalam UU Hak Cipta.

Beberapa pasal yang diajukan untuk uji materi antara lain:

Pasal 9 ayat (3)

Frasa “kepentingan yang wajar” dianggap multitafsir dan berpotensi merugikan musisi karena tidak memberikan batasan yang jelas.

Pasal 23 ayat (5)

Potensi konflik antara pemilik hak cipta dan pencipta lagu, terutama soal pengakuan penciptaan dan integritas karya.

Pasal 81

Frasa “tidak merugikan” dinilai subjektif dan perlu penafsiran lebih tegas.

Pasal 87 ayat (1)

Ancaman pidana dalam konteks penggunaan non-komersial dianggap berlebihan tanpa kejelasan parameter “komersial” dan “tidak komersial”.

Pasal 113 ayat (2)

Status sebagai delik aduan dianggap menyulitkan penegakan hukum karena pelaporannya harus dari pihak yang merasa dirugikan secara langsung.

Para musisi menilai aturan-aturan tersebut membuka peluang interpretasi bebas yang berpotensi mengabaikan mekanisme distribusi royalti yang sah dan telah diatur sebelumnya. Uji materi ini menjadi momen penting bagi para musisi untuk menyuarakan perlunya perlindungan hukum yang setara terhadap para pelaku pertunjukan, tidak hanya pencipta lagu atau pemegang hak cipta.

Mahkamah Konstitusi dijadwalkan akan terus melanjutkan proses persidangan dengan mendengarkan keterangan ahli, saksi, serta tanggapan resmi dari DPR dan Pemerintah sebelum memutuskan apakah pasal-pasal yang digugat perlu ditafsirkan ulang atau bahkan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Komentar