
Kehadiran Dua Maestro Tari Guel di Museum Nasional Indonesia
Dalam pertunjukan yang memukau, dua maestro Tari Guel dari Tanah Gayo, Aceh Tengah, tampil menghibur penonton di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Pertunjukan ini digelar pada Jumat (11/7/2025) dan Sabtu (12/7/2025), menampilkan keahlian dan dedikasi mereka dalam melestarikan seni tradisional Gayo.
Maestro tersebut adalah Mustafa Rasyid dan Radensyah, dua tokoh penting yang telah berkontribusi besar dalam menjaga warisan budaya yang kaya akan makna spiritual dan filosofi. Mereka membawakan Tari Guel dalam bentuk pertunjukan kolaboratif di halaman terbuka museum, menggabungkan gerak, sastra, dan suara menjadi satu kesatuan yang memikat.
Penonton dibuat takjub dengan kostum khas Gayo, gerakan simbolis yang sakral, serta iringan musik khas Gayo yang menggugah perasaan. Pertunjukan ini tidak hanya menampilkan keindahan seni, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan mendalam tentang nilai-nilai budaya dan sejarah.
Latar Belakang Mustafa Rasyid
Mustafa Rasyid lahir di Pegasing Aceh pada 3 Mei 1969 dan saat ini tinggal di Belang Bebangka. Ia adalah seorang maestro Tari Guel yang telah mendalami seni ini sejak kecil, di bawah bimbingan langsung ayahnya, Ceh Sahak Cap Crun. Ayahnya termasuk dalam grup tari Guel Kampung Kutelintang, yang merupakan salah satu grup tari pertama di Aceh Tengah.
Salah satu pengalaman berharga dalam hidup Mustafa Rasyid adalah ketika ia tampil menari Guel di hadapan Presiden Soeharto pada peresmian sebuah pabrik gula. Selain sebagai penari, ia juga mahir dalam memainkan gegedem, alat musik tradisional yang sering digunakan dalam pertunjukan Tari Guel.
Mustafa Rasyid selalu mengajarkan kepada generasi muda untuk tidak melupakan akar budaya mereka dan terus berinovasi agar seni Tari Guel dapat berkembang di kancah nasional maupun internasional.
Profil Radensyah
Radensyah, juga seorang murid dari Ceh Sahak Cap Cerun, merupakan murid terakhir dari legenda Tari Guel tersebut. Ia menjalani kehidupan sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi sejak usia dini ia telah menekuni Tari Guel. Ia tidak hanya melanjutkan tradisi mengajar seni ini kepada generasi muda, tetapi juga piawai dalam memainkan alat musik pengiring, seperti gegedem.
Lahir di Kutelintang Pegasing pada 6 Juli 1972, Radensyah merasa bersyukur bisa mendapatkan pengetahuan langsung dari Ceh Sahak Cap Cerun. Ia kemudian mewariskan ilmu tersebut kepada generasi muda, menjaga keberlanjutan seni Tari Guel.
Pujian atas Penampilan Maestro Guel
Penampilan kedua maestro Tari Guel ini mendapat banyak pujian dari penonton. Mustafa Rasyid mengatakan bahwa mereka diundang dalam acara ini sebagai bentuk penghargaan terhadap Tari Guel. Ia menyampaikan rasa syukur atas kesempatan ini, yang menunjukkan bahwa seni tradisional masih dihargai oleh masyarakat luas.
Tari Guel adalah salah satu tarian sakral masyarakat Gayo yang berkembang di wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tari ini telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia, menandai pentingnya seni ini dalam konteks kebudayaan nasional.
Asal Usul Tari Guel
Sejarah Tari Guel bermula dari mimpi seorang pemuda bernama Sengeda. Dalam mimpi itu, ia bertemu abangnya, Bener Meria, yang meninggal karena pengkhianatan. Bener Meria memberi petunjuk kepada Sengeda untuk mendapatkan Gajah Putih dan cara mempersembahkan gajah tersebut kepada Sultan Alaiddin Riayatsyah Al-Kahar di Aceh Darussalam.
Putri Sultan sangat ingin memiliki gajah tersebut. Sengeda mengikuti petunjuk mimpinya dengan cara menari-nari mengikuti gerakan gajah. Nama "Guel" sendiri berasal dari kata "membunyikan", menggambarkan bagaimana tarian ini menggabungkan sastra dan musik untuk menyampaikan harapan seseorang untuk memperoleh keadilan.
Struktur Tari Guel
Tari Guel terdiri dari empat babak utama: Munatap, Dep, Ketibung, dan Cincang Nangka. Setiap babak menggambarkan tahapan Sengeda mulai dari mendekati Gajah Putih, Gajah Putih mengikuti gerakan Sengeda, menjinakkan gajah tersebut, hingga mempersembahkannya kepada Sultan.
Setiap babak memiliki sejumlah gerakan spesifik, seperti Salam Semah (Munatap), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Kaleng (Sengker Kaleng), hingga Dah-Papan. Tarian ini diiringi oleh berbagai alat musik tradisional, seperti canang, gong, gedegem, dan suling. Gedegem, khususnya, termasuk dalam Warisan Budaya TakBenda Nasional, menunjukkan pentingnya alat musik ini dalam kebudayaan Indonesia.
Komentar
Posting Komentar