
Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai UU KSDAHE
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Putusan ini dikeluarkan dalam sidang yang diadakan pada Kamis, 17 Juli 2025, di Ruang Sidang MK. Putusan tersebut memiliki nomor 132/PUU-XXII/2024 dan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Permohonan uji formil ini diajukan oleh beberapa kelompok masyarakat sipil, antara lain Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), serta Mikael Ane, seorang anggota masyarakat adat Ngkiong Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Mereka mengajukan permohonan karena merasa proses pembentukan UU KSDAHE tidak memenuhi prinsip partisipasi publik yang transparan dan inklusif.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah, Mahkamah menyatakan bahwa proses pembentukan UU KSDAHE telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Menurut MK, dokumen terkait proses legislasi telah tersedia dan dapat diakses secara terbuka melalui situs resmi DPR RI, khususnya pada bagian Prolegnas Periodik.
“Proses penyusunan RUU telah melalui rangkaian rapat yang partisipatif, termasuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan konsultasi publik yang melibatkan akademisi, praktisi, LSM, pelaku usaha, dan instansi pemerintah,” ujar Guntur Hamzah.
Namun, dalam pertimbangan yang lebih mendalam, MK mengakui bahwa dari 21 rapat pada Pembicaraan Tingkat I dan satu rapat pada Pembicaraan Tingkat II, hanya empat rapat yang diselenggarakan secara terbuka. Sementara itu, sisa rapat, termasuk rapat Tim Perumus dan Sinkronisasi, diselenggarakan secara tertutup.
Meski demikian, MK menyatakan bahwa meskipun rapat bersifat tertutup, masyarakat tetap dapat mengetahui isi pembahasan melalui catatan rapat yang tersedia, baik seluruh maupun sebagian dari isinya.
Tanggapan dari Kelompok Masyarakat Sipil
Meskipun menghargai putusan MK, aliansi masyarakat sipil menyampaikan kekecewaan terhadap proses partisipasi yang dinilai tidak cukup untuk menjamin aspek meaningful participation dalam pembentukan UU KSDAHE. Cindy Julianty, Eksekutif Koordinator Working Group Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territory (ICCAs) Indonesia, menyatakan bahwa pelibatan masyarakat adat dalam RDPU tidak cukup untuk memastikan partisipasi yang bermakna.
Selain itu, Cindy juga menyebutkan bahwa berdasarkan pemantauan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Konservasi Berkeadilan, ditemukan 20 dokumen proses rapat yang tidak dapat diakses publik. Oleh karena itu, ia menyerukan agar proses legislasi ke depan wajib memenuhi prinsip partisipasi bermakna, terutama dalam isu-isu lingkungan hidup, tanah, dan sumber daya alam.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN, juga menyayangkan kurangnya partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat dalam pembentukan UU KSDAHE. Meskipun UU ini dianggap legal oleh pengambil kebijakan, bagi masyarakat adat, proses pembentukan UU dan putusan MK tidak mencerminkan partisipasi yang benar-benar inklusif.
Opsi Berbeda dari Hakim Konstitusi
Dalam putusan MK tersebut, terdapat dua opini berbeda atau dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra. Kedua hakim ini menyatakan bahwa proses pembentukan UU 32/2024 dilakukan dalam rapat tertutup tanpa alasan valid, yang berdampak pada pengabaian Asas Keterbukaan dan Keterlibatan Publik dalam mewujudkan prinsip Meaningfull Participation.
Kedua hakim tersebut berpendapat bahwa karena fakta proses pembahasan UU 32/2024 dilakukan secara tertutup, maka seharusnya MK menyatakan bahwa UU tersebut mengandung cacat formil sehingga proses pembentukannya bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Komentar
Posting Komentar