Suara Nanggroe Volume 7, Pesta Harmoni Seni dan Budaya Aceh

Suara Nanggroe Volume 7, Pesta Harmoni Seni dan Budaya Aceh

Perayaan 17th Anniversary Made in Made: Kekuatan Seni Budaya Aceh yang Menyatukan Beragam Etnis dan Generasi

Perayaan 17th Anniversary Made in Made menjadi momen penting dalam kalender seni budaya Aceh. Dengan tema “Sound of Nanggroe Vol.7”, acara ini bukan hanya sekadar pesta musik, tetapi juga panggung ekspresi lintas generasi, etnik, dan komunitas yang menghadirkan semangat keberagaman dalam bingkai seni budaya Indonesia.

Digelar di Banda Aceh pada 5-6 Juli 2025 lalu, Sound of Nanggroe Vol.7 menampilkan berbagai penampilan istimewa dari musisi, seniman tari, penyair, komunitas budaya, serta pelaku kreatif dari berbagai latar belakang. Mulai dari Aceh, Gayo, Tionghoa, Papua, Sunda, hingga komunitas diaspora, semua hadir dalam satu ruang yang penuh makna.

Momen ini juga menjadi ajang silaturrahmi para pelaku seni, reunian band legendaris Aceh, serta forum terbuka bagi gagasan-gagasan kreatif. Ketua Majelis Seniman Aceh (MaSA), Chairyan Ramli menyampaikan bahwa ajang ini layak diapresiasi karena mampu menciptakan ruang berkesenian yang inklusif dan harmonis.

“Semoga ajang persatuan dan kreativitas seperti ini bisa berlanjut, lebih terarah dan teratur untuk menciptakan harmoni yang baik di antara penggiat seni budaya di Aceh,” ujarnya.

Himpunan Mahasiswa Papua di Aceh (HIMAPA) yang turut tampil membawakan tarian, puisi, dan musik menyampaikan bahwa acara ini tidak hanya tentang tampil, tetapi juga membangun jembatan kebudayaan antara Aceh dan Papua.

“Aspek ini sangat penting untuk meningkatkan pemahaman antar daerah,” ujar Askin Alimdam.

Paguyuban Pasundan Aceh, Yayasan HAKKA Aceh, serta komunitas Barongsai FOBI memberikan apresiasi terhadap acara ini sebagai ruang inklusif yang menghadirkan keberagaman ekspresi budaya secara damai dan membanggakan.

“Ini proses menyatukan penggiat seni budaya tradisi dan modern dalam satu ruang kesadaran,” tutur Kang Ayi Chidmat dari Paguyuban Pasundan Aceh.

Zekka Ceh, mewakili grup Didong Serungke Bujang Kebinet Bebesen dari Gayo, menjelaskan bahwa Made in Made tidak hanya sebagai pentas seni, tetapi juga ruang edukasi budaya, promosi kerajinan lokal, dan media kolaborasi lintas sektor ekonomi kreatif.

Dukungan kuat datang dari Kepala UPTD Taman Seni dan Budaya Aceh, Azhadi Akbar SSn, yang menyebut acara ini sebagai “hadiah dari petualangan kreatif Made,” serta menyatakan komitmennya untuk terus mendukung acara seni lintas budaya ini.

Akademisi dan budayawan Aceh, Dr Salman Yoga SAg MA, menilai acara ini telah menjadi kalender penting bagi pelaku seni di luar agenda formal pemerintah. Sementara itu, Thayeb Loh Angen, Sekretaris Jenderal MaSA dan penyair nasional asal Sumatra, menilai acara ini sebagai bentuk kreativitas yang patut dijaga keberlangsungannya.

Ia sendiri membacakan dua syair karyanya dari kitab Rubai Syariat Musafir di acara ini.

Ucapan selamat juga datang dari luar negeri. Teuku Emi Syamsumi (Abu Salam), Ketua KPA Luar Negeri dan vokalis Bink Voe (band) Australia, menyebut Made in Made sebagai "suara jiwa muda Aceh" yang menyuarakan damai dan cinta lewat musik.

Drummer nasional Aceh, Adek (Metazone), menyebut Sound of Nanggroe sebagai "ajang berkelas nasional" dan menyerukan agar Pemerintah Aceh memberikan dukungan pendanaan lebih besar untuk keberlangsungan acara ke depan.

Ramadhan Moeslem Arrasuly alias Made, sebagai inisiator dan penggagas utama, membuktikan bahwa kerja kolektif dan semangat berbagi adalah kunci keberhasilan acara ini.

Ucapan dukungan terus mengalir dari berbagai pihak, termasuk Sanggar Tari Cut Nyak Dhien, Sanggar Linge, komunitas mural, hingga pegiat puisi seperti Wina SW1 dan novelis-seniman Agus Nur Amal (PMTOH).

17th Anniversary Made in Made bukan hanya perayaan, tapi juga manifestasi konkret dari semangat kolektif lintas budaya dan generasi. Ini adalah suara Aceh yang lebih inklusif, kreatif, dan membumi.

Post a Comment

Previous Post Next Post