
Perubahan Budidaya Udang di Indonesia
Di tengah potensi Indonesia sebagai salah satu negara produsen udang terbesar di dunia, sebagian besar tambak udang masih menggunakan metode yang ekstensif dan tradisional. Lebih dari 82 persen tambak udang di Indonesia masih berbasis sistem tradisional, yang tidak hanya menghasilkan produktivitas rendah tetapi juga berdampak buruk pada lingkungan. Dampak tersebut meliputi kerusakan ekosistem mangrove, penurunan kualitas air, serta limbah yang tidak dikelola dengan baik.
Untuk menghadapi tantangan ini, berbagai pihak mulai mendorong transformasi sistem budidaya udang yang lebih modern dan ramah lingkungan. Salah satu inisiatif yang muncul adalah Aquarev, sebuah perusahaan sosial berbasis teknologi yang bertujuan membangun ekosistem akuakultur yang produktif, inklusif, dan berkelanjutan.
Pendekatan Terintegrasi oleh Aquarev
Aquarev melakukan renovasi tambak, memberikan pendampingan teknis langsung di lapangan, serta memantau hasil panen secara digital. Inisiatif ini dijalankan bersama mitra teknologi seperti Koltiva, yang memiliki pengalaman dalam membangun rantai pasok berbasis data.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyambut baik pendekatan seperti ini. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Tb Haeru Rahayu, menyatakan bahwa transformasi budidaya udang merupakan prioritas nasional. Ia menekankan pentingnya penguatan budidaya berkelanjutan berbasis teknologi, terutama bagi petambak kecil yang selama ini bekerja secara tradisional dan belum produktif.
Model Berbasis Komunitas
Pendekatan Aquarev didasarkan pada model komunitas. Tantangan budidaya dihadapi secara kolektif untuk meningkatkan peluang keberhasilan panen dan memperkuat solidaritas usaha. Retno Nuraini, Head of Partnerships Aquarev, menjelaskan bahwa model ini membantu petambak dalam menghadapi berbagai tantangan secara bersama-sama.
Di lapangan, upaya ini telah menunjukkan hasil yang positif. Di Pasangkayu, Sulawesi Barat, keluarga petambak H. Siala dan Muchtar menjalani panen parsial sebanyak lima kali sejak April 2025. Dengan produktivitas rata-rata 38,5 ton per hektar, tambak mereka diproyeksikan menghasilkan lebih dari 43 ton udang hingga akhir Juli.
Pembangunan Kepercayaan dan Kerja Sama
Muchtar, generasi muda petambak yang kembali ke kampung halaman setelah menyelesaikan studi di Kalimantan, mengatakan bahwa ia belajar bahwa tambak udang bukan hanya soal teknis, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan kerja sama erat dengan tim di lapangan.
Selain produksi, pemasaran juga menjadi aspek yang diperbaiki. Melalui dukungan Aquarev, petambak tidak lagi kesulitan menjual hasil panen karena akses ke pasar telah dibuka secara langsung. Kualitas udang yang terjaga membuat mereka memperoleh harga jual yang lebih kompetitif.
Upaya Lingkungan dan Keberlanjutan
Untuk menjaga kelestarian lingkungan, Aquarev menanam bibit mangrove di sekitar tambak dan mengedukasi petambak tentang pentingnya ekosistem pesisir. Selain itu, inisiatif keberlanjutan seperti sertifikasi Aquaculture Stewardship Council (ASC), program Blue Carbon, dan studi pemanfaatan energi surya di tambak sedang dikembangkan untuk menekan emisi karbon dan memperkuat daya tahan usaha.
Retno menutup pernyataannya dengan menyatakan bahwa keberhasilan tambak bukan sekadar produktivitas panen, tetapi ketika petambak mandiri, lingkungan terjaga, dan budidaya menjadi kekuatan ekonomi yang berkelanjutan.
Perusahaan Sosial yang Berkomitmen
Sebagai informasi, Aquarev adalah perusahaan sosial berbasis teknologi yang berkomitmen merevitalisasi tambak udang rakyat menjadi lebih produktif, berkelanjutan, dan inklusif. Hingga 2025, Aquarev mengelola lebih dari 30 hektar tambak aktif di lima provinsi dengan total panen lebih dari 250 ton, melibatkan lebih dari 100 petambak dan tenaga pendukung.
Komentar
Posting Komentar