
Algoritma TikTok yang Membuat Remaja Terjebak dalam Konten Negatif
TikTok telah menjadi salah satu platform media sosial yang paling diminati oleh anak-anak dan remaja. Namun, di balik tampilan yang menarik dan kreatif, terdapat sistem algoritma yang bekerja secara otomatis untuk menampilkan konten sesuai dengan kebiasaan pengguna. Sayangnya, sistem ini juga bisa berpotensi membahayakan kesehatan mental remaja jika tidak dikelola dengan baik.
Laporan dari organisasi hak asasi manusia menyebutkan bahwa pengguna muda dapat terpapar video bertema kesedihan, melukai diri, hingga pikiran bunuh diri dalam waktu singkat. Konten-konten tersebut tidak hanya muncul sekali, tetapi terus-menerus, sehingga menciptakan dampak psikologis yang mendalam. Anak-anak bisa larut dalam suasana negatif tanpa menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi oleh sistem yang dirancang untuk mempertahankan perhatian sebanyak mungkin.
Berikut adalah beberapa hal penting yang perlu dipahami mengenai cara kerja algoritma TikTok dan risiko yang bisa dialami remaja:
1. Umpan "Untuk Anda" Bisa Jadi Lubang Gelap bagi Remaja
Halaman "Untuk Anda" di TikTok dirancang agar pengguna merasa nyaman dengan konten yang sesuai dengan minat dan pola tontonan. Namun, di balik personalisasi ini, tersembunyi risiko besar. Cukup dengan menonton satu video bertema kesedihan atau kecemasan, sistem akan terus menampilkan video dengan nuansa serupa. Penelitian menunjukkan bahwa akun remaja usia 13 tahun bisa terpapar konten depresi hanya dalam waktu 3 hingga 20 menit sejak mulai digunakan. Dalam satu jam, sebagian konten mulai meromantisasi atau menormalkan tindakan melukai diri hingga pikiran bunuh diri. Hal ini bukan karena remaja secara sadar mencarinya, tetapi karena sistem TikTok “menebak” itulah yang mereka sukai. Tanpa disadari, mereka terseret ke dalam pola pikir negatif yang diperkuat oleh algoritma.
2. Ketagihan Digital yang Tidak Disadari dan Menyakitkan
TikTok bukan hanya aplikasi hiburan, tetapi juga dirancang agar pengguna terus kembali dan sulit melepaskan diri. Fitur gulir tanpa akhir, durasi video singkat, dan pergantian konten cepat membuat otak terus mencari sensasi baru. Hal ini menciptakan efek adiktif, meski sering kali pengguna merasa tidak nyaman secara emosional. Banyak remaja melaporkan gangguan tidur, kesulitan fokus belajar, hingga kecemasan setelah berjam-jam bermain TikTok. Beberapa bahkan mulai mengidentifikasi diri memiliki gangguan tertentu setelah menyaksikan konten kesehatan mental—padahal belum tentu relevan atau benar secara medis. Algoritma tidak mampu mengenali apakah pengguna sudah lelah atau tertekan. Selama pengguna masih menggulir, sistem akan terus bekerja. Kebiasaan ini menciptakan ketergantungan digital yang tidak terlihat namun perlahan mengikis kesehatan mental pengguna muda.
3. Pengawasan dan Penyalahgunaan Data Anak Muda
Selain mendorong kecanduan, TikTok juga mengumpulkan data pribadi pengguna dalam jumlah besar. Setiap interaksi dari video yang ditonton hingga durasi tatapan pada layar dicatat. Tujuannya adalah menyempurnakan sistem rekomendasi sekaligus menargetkan iklan yang lebih personal. Anak-anak dan remaja menjadi sasaran empuk. Di negara dengan perlindungan data yang lemah, seperti beberapa wilayah di Asia dan Afrika, remaja hampir tidak memiliki perlindungan hukum atas data pribadi mereka. Data ini dapat digunakan tidak hanya untuk pemasaran, tetapi juga memperkuat konten adiktif tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya. Model bisnis ini memperlihatkan bahwa anak-anak bukan dilindungi, melainkan dijadikan aset digital yang menguntungkan. TikTok tidak memberikan perlindungan setara bagi pengguna muda di semua negara. Anak-anak di wilayah dengan regulasi lemah menjadi korban utama dari praktik pengawasan dan eksploitasi digital ini.
Dengan semakin meningkatnya penggunaan TikTok oleh kalangan muda, penting bagi orang tua dan pihak terkait untuk lebih waspada. Perlindungan digital sangat mendesak agar generasi muda tidak terjebak dalam lingkaran negatif yang tidak mereka sadari.
Komentar
Posting Komentar